Di
teras rumah Sinta duduk termenung sendirian memikirkan perkataan Hendi yang
akhir-akhir ini mengusik fikirannya. Rasa bahagia, aneh, sedih serta tak
menyangka sore itu dia rasakan. Dia masih terbayang kata-kata yang diucapkan
Hendi kemarin waktu di dalam kelas yang masih ramai dihuni para mahasiswa.
“Ta,
loe mau gak jadi pacar gue?”
“Loe
bercanda yak?”
“Gue
serius Ta, gue sayang sama loe”
“Udah
lah Hen, loe tu cuma bercanda”
Selanjutnya
Hendi mengoceh tak jelas karena Sinta memang gak terlalu memperdulikan yang
Hendi katakan, kelaspun semakin ramai dengan adanya adegan-adegan seperti itu.
Sinta
mengambil hape yang ada di saku kirinya dan membuka aplikasi opera mini,
facebook.com diketik pada tab address lalu share sesuatu yang ada dalam
fikirannya saat itu “gue udah kenyang sama pahitnya cinta dan gue gak mau
merasakannya lagi, stop pacaran !!”. Tiba-tiba hape berdering Hendi nelfon tapi
tak diangkat, kedua dan ketiga tapi tak kunjung diangkat juga telfon dari
Hendi. Akhirnya Hendi mengirim pesan
singkat “Ta, gue bener-bener serius dengan omongan gue kemarin, loe ada jawaban
buat gue gak?” tapi sepertinya Sinta menghiraukannya. Sinta masih menghormati
perasaan Angga yang memang sudah menyukainya lebih dulu.
Sampai
berminggu-minggu lamanya Sinta memikirkan perkataan dan Hendi masih terus
mengejar-ngejar Sinnta untuk mendapat jawaban yang pasti, padahal ia tau gak
mudah melupakan cinta pertama. Santos, itulah nama lelaki yang pernah mengisi
hati Sinta beberapa tahun silam. Sinta memutuskan hubungannya dengan Santos
karena Sinta tau Santos telah mulai berubah sikap dengannya, rasa sayangnya
telah pudar dengan adanya wanita lain di kampusnya. Baru beberapa bulan ini
mereka putus.
Suatu
saat Hendi nekat menjemput Sinta di rumah, dia kaget dengan Hendi yang selalu
menanyakan jawaban itu dan akhirnya
Sinta menjawab kalo dia mau jadi pacarnya. Hari itu hari dimana mereka
berangkat kuliah bareng, meskipun mereka sudah berpacaran tapi sikap mereka
masih seperti sebelum berpacaran. Banyak dari teman-teman yang gak percaya kalo
Sinta dan Hendi bakal jadian. Sampai beberapa bulan lamanya mereka jalan bareng
tetapi hati Sinta masih merasa belum bisa menerima kehadiran cinta Hendi.
Meskipun dia ingin, Angga lah orang yang diharapkan untuk menjadi kekasihnya.
Hingga akhirnya dari pihak keluarga Hendi melamar Sinta dan keluarga Sinta
menerima lamaran itu.
Minggu
13 Juni Hendi mengajak Sinta ke suatu tempat yang romantis, Sinta sangat senang
dengan kejutan yang diberikan Hendi padanya. Tiba-tiba ada yang memanggil
dirinya
“Taa,
Sintaa...” Sinta mencari arah suara berasal.
“Angga
!!” fikirnya dalam hati.
“Hey...
gimana kabar loe?” tanya Angga membuka percakapan.
“Baik...
loe sendiri gimana kabarnya?, eh kenalin nih, ini Hendi” Sinta menunjuk Hendi
isyarat agar mereka bersalaman
“Oo..
loe yang namanya Angga, Sinta banyak cerita tentang loe, gue Hendi tunangan
Sinta” ucap Hendi tanpa dosa
“Tu,,,
tunangan???” tanya Angga melotot heran
“Iya,
gue tunangan Sinta, Sinta gak cerita sama loe?” tanya Hendi meyakinkan
Saat
itu juga Angga minta undur diri, sambil berkaca-kaca Angga mengotak-atik hape
yang sedari tadi ada di tangannya lalu menulis pesan singkat kepada Sinta
“hanya orang bodoh yang menunggu cintanya terjawab sampai 3 tahun”. Sinta
menerima pesan itu dan seketika menangis sejadi-jadinya, Sinta tau kalo cinta
Angga begitu tulus tapi apa dikata, Sinta sudah dimiliki Hendi.
Jam
dinding di depan itu menunjukkan pukul 11 malam, tetapi Angga masih duduk
termenung meratapi nasibnya. Dedaunan seakan melambai-lambai mengajak Angga
berpesta, bergoyang-goyang ditiup angin malam yang damai dingin. Tak sepatah
katapun yang keluar dari mulutnya, diam seribu bahasa. Sesekali ia menghela
nafas panjang mengenang masa lalunya ketika dekat dengan Sinta. “Haaah....
ngapain gue mengharapkannya, toh dia udah mau married” hatinya berbisik. Malam
mulai merayap larut, hening sepi. Udara malam itu seakan menusuk tulang sumsum
Angga, perlahan namun pasti tubuh Angga mulai menggigil tetapi ia masih enggan
beranjak dari tempat duduknya, setia. Sedalam setianya menunggu harapan kepada
Sinta 3 tahun belakangan ini.
“Angga,
ayo masuk nak, malam udah mulai larut
dan kayaknya mau ujan” pinta sang Ibunda yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya
setelah seharikan penuh bekerja. “ya Bu, entar Angga masuk, Ibu duluan aja”
jawab Angga singkat. Dengan mata berkaca-kaca Angga memndangi air yang mulai
berjatuhan dari atap rumahnya.
Suara
dentang jam terdengar jelas, pukul 2 pertanda malam berganti pagi sejak tadi.
Angga mengakhiri petualangannya bersama kenangan sang pujaan hati yang
diharapkan bisa menjadi kekasihnya. “kreek.... Klik !!” pintu depan telah
terkundi dan lampu depan dimatikan tetapi langit itu kelihatan masih sedih,
belum mau menghentikan air matanya yang berderai deras, sederas linangan air
mata Angga karena cinta. Angga membuka intu kmarnya dan merebahkan tubuh,
sesekali dia memandangi foto Sinta yang menggantung di sisi pojok kamar. Hingga
akhirnya dia tertidur.
Pagi
kembali menjelang dan sang surya telah hadir, waktu sudah menunjukkan pukul 8
pagi tapi Angga masih enggan bangun. “lho kamu kok belum bangun, gak berangkat
kuliah?” tanya Ibunda sembari mengelus rambut anaknya. “gak Bu, Angga masih
ngantuk”” jawab Angga dengan malas, “kamu kenapa?” tanya ibunya memegan kening
dan lehernya, “badanmu panas, Nak” Ibunya terkejut. “aah... gak kok Bu, Angga
Cuma kecapekan aja, kurang tidur”. Angga
berusahah menutupi keadaan yang sebenarnya, seolah rasa sakit itu ingin dia
emban sendiri. Ia sadar cinta tak harus memiliki, itulah makna cinta menurut
Angga. Angga yang tipikal orangnya halus, walaupun semestinya dia tak ingin
jauh dari Sinta, tetapi Sinta telah menghempas mimpi-mimpi indahnya. Pupus
sudah cita dan asa untuk meraih kebahagiaan bersama tambatan hati.
Sudah
3 hari ini Angga terbaring tak berdaya di kamarnya. Tubuhnya mulai kelihatan
kurus, matanya terlihat cekung dan suhu tubuhnya tak ada perubahan, justru
tinggi. Melihat kondisi yan seperti ini, orang tua Angga merujuk ke rumah
sakit. Setelah diperiksa “Angga sakit typhus, Pak!!” kata Dokter memberi tahu
ayah Angga, “parah Dok?” tanya ayahnya menanggapi pertanyaan dokter. “ya,
mungkiin banak telat membawanya kemari” tegas dokter memastikan, selanjutnya
dokter meninggalkan ruangan. Teman-teman berdatangan menjenguk, satu-satunya harapan
adalah dia dijenguk temannya, Sinta. Tetapi ternyata tidak, Sinta tak pernah
datang sekedar bertatap muka.
Sepuluh
hari sudah, Angga melawan penyakitnya. Puluhan obat yang kata Dokter dapat
menyembuhkan penyakitnya telah masuk ke dalam perut Angga, tak jarang dia
memuntahkannya. Akan tetapi kondisinya semakin lama semakin mengkhawatirkan,
bak telur di atas tanduk. Suhu badannya terus naik, wajahnya pucat pasi, dan
keringat dingin mulai membanjiri pakaian yang dikenakan Angga. Jam yang
tergantung disebelah kanan atas menunjukkan pukul 20.00, semua yang hadir hanya
bisa berdiam diri sambil berucap do’a-do’a. Dan akhirnya, Angga menghembuskan
nafas terakhirnya di ruang mawar. Suara isak tangis terdengar di ruangan itu,
di tengah ratapan kesedihan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh hape milik Angga
yang berbunyi nyaring setelah dibuka Ibundanya ternyata pesan dari Sinta “sorry
ya Ga, gue baru bisa kasih kabar, gue sibuk nyiapin pernikahan. Oh ya, loe bisa
dateng gak? Malam ni adalah pesta pernikahan gue, Sinta”.
Selamat
tinggal Angga, Ia pergi untuk selamanya meninggalkan Ayah, Ibu, temen-temennya,
juga sang pujaan hati, semuanya. Angga pergi dengan membawa berjuta kesetiaan.