Hujan
gerimis yang makin merapat mengguyur sebagian daerah Kami siang itu, langit
seakan bergoyang dengan adanya sepasang burung yang bermain diantara awan-awan,
pucuk dedaunan bergoyang mengikuti alunan goyangan gerimis, terdapat dua insan
berlainan jenis di taman waktu itu.
“Si,
gue tau kalo bokap loe gak terlalu suka ma gue dengan adanya hubungan kita yang
sedekat ini meskipun kita cuma sebage sobat” Nita mencoba menguak dengan suara
lirihnya.
“Gue...
gue bukan bokap, loe tau kalo gue udah lama suka sama loe” balas Qudsy agak
malu.
“Lama...??”
sahut Nita dengan mata penasaran.
“Sejak
pertama kali gue ketemu sama loe” kata Qudsy menatap dalam-dalam wajah Nita,
“apa loe udah ngasih hati sama cowok lain?” imbuhnya.
“Ya,
ma cowok terbaik dari semua cowok yang ada di dunia ni” tukas Nita.
“Siapa??”
tanya Qudsy penasaran.
“Ini”
jawab Nita dengan serius.
“Gue?”
Qudsy menunjuk dirinya sendiri.
“Iya,
loe Qudsy” jawab Nita dengan mantap.
Siang
itu dengan hujan yang mulai mengguyur seakan menjadi saksi percakapan dua
remaja yang memulai kehidupan yang paling indah. Ya, sebuah janji sehidup
semati sebelum Qudsy berangkat kuliah disalah satu universitas ternama yang ada
di Kairo. Sepasang mata mereka mengeluarkan mutiara cinta sebelum mereka berpisah.
Anginpun menyapu wajah mereka yang berlinang air mata perpisahan.
Hari
demi hari minggu demi minggu dan bulan berganti tahun Nita hidup dengan rindu
yang berkepanjangan, “Qudsy, kapan loe pulang” fikirnya dalam hati. Hingga
suatu hari kerinduan itu berganti dengan kedukaan yang mendalam ketika ayahnya
memaksanya untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Padahal ia telah
mengikat janji dengan Qudsy.
“Kau
harus kawin sama Toni” teriak ayah Nita.
“Tapi
Nita masih kuliah, Ayah !!” jawab Nita beralasan.
“Aah...
alasan aja kamu” tangkas ayahnya
“Nita
gak cinta sama dia Yah, Nita mau nungguin Qudsi” Nita mengangis sembari lari ke
kamarnya, dia menangisi nasib malang yang akhir-akhir ini menimapnya. Sesaat
kemudian Ibunya menghampiri ke kamar.
“Cinta
itu pondasi dan rumah tangga itu bangunannya, Nita anakku” Ibunya mencoba
menenangkan hatinya.
“Tapi
apa bangunan bisa berdisi tegak tanpa adanya pondasi?” jawab Nita dengan isak
tangisnya, “lagian sekarang ni bukan jamannya Siti Nurbaya lagi, gue gak mau
dijodohin” imbuhnya dengan tangis yang makin menjadi.
“Witing
tresno jalaran songko kulino, Nita sayang. Aku tau kalo kamu tidak mencintai
Toni tapi bila itu dijalani, kamu bisa mendapatkan rumah tangga yang utuh”
jelas Ibunya.
Sangat
menyakitkan memang karena wanita hanya bisa pada posisi menerima. Lelaki yang
melamar Nita orangnya baik, cukup berpendidikan, dia juga orang yang cukup
berharta jika dibandingkan dengan Qudsy. Tanggal yang telah dipersiapkan pun
telah tiba, Toni dan Nita menikah. Toni sebenarnya tidak terlalu mengecewakan
hati Nita, dia selalu mencukupi kebutuhan Nita. Dia adaah pimpinan suatu proyek
tapi Nita bukanlah suatu proyek apapun.
Berhari-hari
Nita mencoba menerima dengan sepenuh hati tapi dia selalu gagal dan tubuhnya
semakin hari semakin kurus, cintanya hanya untuk Qudsi. Setahun lamanya hingga
suatu peristiwa pahit terjadi, Toni suami Nita tabrakan ketika bekerja,
bangunan yang baru dipondasi ambruk dan menimpa tubuh Toni tapi nyawanya tidak
tertolong, memang naas. Tak ada kata yang mampu Nita katakan, jika sedihpun apa
yang membuatnya bersedih dan jika sukapun tidak ada yang membukakan pintu suka
untuknya karena dia berada dalam zona kedukaan.
Suatu
sore, Nita mendapati Qudsy yang telah pulang dari negeri nan jauh disana tapi
tidak ada wajah sempurna difikirannya, mungkin karena Qudsi telah tau bahwa
dirinya menikah dengan lelaki lain. Qudsi menemui Nita di taman yang dulu
pernah mereka ucap sebagai janji suci.
“Gue
bersyukur kita masih bisa ketemu, selanjutnya gue gak minta apa-apa” kata Nita
sambil mengusap air mata di pipinya.
“Gak
minta apa-apa gimana maksud loe, Ta?” Qudsi dengan nada kebingungan.
“Hidup
gue udah selesai, gue gak tau harus gimana lagi” isak Nita dengan lirih.
“Tapi
nyatanya loe masih hidup kan, sekarang gue udah ada disini dan gue akan lakuin
hal terbaik yang pernah kita ikrarkan bersama, loe masih inget itu Ta” Qudsi
mencoba mengingatkan kejadian 4 tahun silam.
“Gue
inget tapi gue gak bisa Si, gue terlalu kotor untuk hal itu, gue yang sekarang
bukanlah gue yang dulu” Nita mengusap air matanya lagi.
“Gue
gak bicarain masa lalu, yang gue bicarain adalah masa yang akan datang” Qudsi
menegaskan
“Loe
terlalu baik untuk cewek yang kurang baik Si, kenapa yang berantakan harus
disusun lagi kayak gini?” tanya Nita.
“Nyesel
gak akan menghentikan musibah dan gak akan nyelesain masalah Ta, lembaran yang
penuh coretan kita buang dan kita buat lembaran yang baru lagi” ucap Qudsi.
“Tapi
apakah bisa berhasil???” tanya Nita.
“Keberhasilan
atau kegalalan bukanlah suatu ukuran, yang menjadi ukuran kita adalah suatu
kebaikan bersama” Qudi mencoba memantapkan hati Nita.
“Bersama?”
tanya Nita penasaran.
“Ya,
bersama dalam suatu upacara” jawab Qudsi.
“Bersama-sama....”kata
Nita datar, “sebagai suami istri?” imbuhnya.
“Ya,
suami istri” jawan Qudsi mantap.
Kegembiraan
mereka berdua telah disaksikan sang surya di ufuk barat, merekapun meninggalkan
taman kenangan yang diiringi tetesan gerimis yang menimpa daun-daun pepohonan,
membuat musik alam yang penuh gairah.
“Kala
angin bertiup 19 oktober
Aku
terbuai....
Bersama
seribu angan dan harapan
Ku
mohon pada-Mu Tuhan
Jadikanlah
hari ini sebagai surgaku.”
TAMAT
!!